Monday, February 16, 2009

Bulu Herwei dari Kalimantan Tengah

Bulu-bulu yang menghiasi pakaian adat itu menyedot pandangan mata pengunjung. Kali ini giliran Kalimantan tengah yang akan menunjukan salah satu tariannya.
Setelah pembawa acara Kemilau Nusantara 2008 membacakan susunan acara, tak lama kemudian para penari pun keluar dari belakang panggung. Para wanita dan pria yang mengenakan bulu-bulu di atas kepalanya ini tak langsung naik ke atas pentas. Mereka menyapa para pengunjung dengan berjalan ke depan panggung. Semua terpana. Semua pengunjung, terutama fotografer langsung mengerubungi para penari. Seperti lalat yang mengerubungi makanan.
Menarik, sungguh menarik perhatian. Pakaian merekalah yang menarik perhatian pengunjung. Penampilan nyentrik ini sangat menggoda para fotografer untuk mengabadikan keunikan kalimantan Tengah ini.
Di atas kepala perempuan terdapat tiga bulu panjang serta banyak bulu yang berderet dibagian rambut belakang dan punggung mereka. Sedangkan pada kepala laki-laki tepasang lebih dari sepuluh bulu panjang. Memberikan kesan megah dan “Wah” bagi yang mengenakannya.
Jika diperhatikan dengan lebih seksama, ada aksesoris lain yang sungguh menimbulkan rasa ingin tahu. Para penari wanita menggunakan kalung yang tersusun atas benda yang sepintas seperti tulang atau taring. Ternyata benda putih itu adalah taring babi hutan, taring beruang, dan taring buaya.
Berbeda dengan kalung wanita, kalung pada pria berukuran lebih besar. Penari pria juga mengenakan hiasan pinggul yang disebut penyang. “Itu semua tersusun dari taring babi, berung dan buaya, yang pastinya hewan yang ada di Kalimantan,” ujar Daya, pemimpin rombongan kesenian dari kalimantan.
Para penari perempuan dengan sangat ramah memberikan senyum dan posenya kepada para fotografer yang sesekali mengarahkan gaya mereka. Lain halnya dengan penari laki-laki. Tanpa senyum, dan gestur yang gagah, mereka berpose dengan sedikit membuka lebar matanya,serta bergaya menggunakan senjata yang mereka bawa.
Sambil mengibaskan mandau dan perisai yang disebut talawang, para penari pria bergaya seolah mereka akan berperang. Sesekali penari wanita menghempaskan selendangnya dan memamerkan bulu burung Herwei yang terpasang pada lengan kiri mereka.
Sekitar selama sepuluh menit mereka terus berpose. Matahari sudah semakin terik, maklum saat itu matahari tepat di atas kepala. Sambil tertawa dan kepanasan seorang penari perempuan berbicara dengan pelan, “Aduh, kita kan bukan model.”
Kemudian mereka langsung naik ke atas pentas. Sebelum memulai pertunjukannya, salah seorang pemain musik diajak berbincang oleh pembawa acara. Ternyata, kelompok kesenian dari sanggar Bentang Satugiang ini sudah melanglang buana ke manca negara. “Kami pernah tampil ke beberapa negara, seperti Malaysia, Brunai, Cina, dan australia,” ujarnya.
Setelah semua sudah siap, mereka langsung meranikan tarian Asang. Gerakan-gerakannya yang di tarikan oleh penari laki-laki sangat tegas, ditambah lagi dengan ekspresi wajah yang garang. Sesekali mereka berteriak dan menghentakan kaki. Tarian ini semakin terasa hidup dengan iringan musik dari alat musik khas Kalimantan Tengah.
Gendang besar yang terbuat dari kulit sapi membuat tariah semakin bertenaga. Gendang kerempet yang terbuat dari kulit kambing dan tangkung gendang dari besi membuat alunan musik semakin indah.
Para penari perempuan terlihat gemulai dan serasi dengan iringan melodi dari kecapi. Perpaduan antara alat musik dan tarian ini menyuguhkan pertunjukan seni yang membuat penonton terpukau. Tarian semakin menarik ketika salah satu penari laki-laki dikepung oleh para penari yang lain. Tameng yang dipegang tangan kirinya ditarik oleh beberapa tali yang dipegang oleh penari lain.
Konflik dalam tarian inilah yang membuat tarian semakin hidup. Penari yang dikepung itu seolah penjahat yang ingin dikeroyok. Ternyata tarian Asang ini memang tarian perang. Tarian yang bercerita tentang penjahat ini berasal dari legenda di Kalimantan Tengah.
Ketua rombongan kesenian ini menjelaskan bahwa penari yang ditarik dengan tali itu adalah penjahat. “Ia menyerbu dan ingin mengganggu satu kampung. Dalam legenda Asang ini, ada suatu kesepakatan, yaitu “bale”, yang berarti balas darah dengan darah, bayar beras dengan beras,” ujar Daya.
Setelah tarian selesai, penampilan berikutnya ialah sebuah lagu tentang persatuan indonesia dan kebudayaan Indonesia. Seorang penari pria menyanyikan lagu sambil sesekali melihat teks lagu yang ia pegang. Meskipun tidak hapal, lagu ciptaan salah seorang musisi ini dinyanyikan dengan logat khas kalimantan. Terdengar indah dengan alunan kecapi.
Semua penonton memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan. Inilah bukti loyalitas seniman dalam memperkenalkan kebudayaannya.
Meskipun lelah masih terasa, mereka telah menyajikan pertunjukan yang indah. Bayangkan, mereka baru tiba di Bandung pukul 02.00 pagi dan harus bersiap-siap sejak subuh. Wajar saja, untuk memperoleh penampilan yang maksimal mereka tentu harus mempersiapkannya dalam waktu yang relatif lama.
Penampilan mereka bukan hanya hari ini saja, keesokan harinya mereka juga akan mengikuti rangkaian acara Kemilau Nusantara berikutnya, yaitu karnaval budaya.
Hari minggu, sejak pukul 08.00 mereka sudah siap di Pusdai, Bandung. Ada yang berbeda dari penampilan mereka hari ini. Kelompok dari Kalimantan Tengah ini bertambah semakin ramai dengan sepasang pengantin yang menggunakan pakaian khas Kalimantan Tengah. Pakaian pengantin ini sekilas terlihat sederhana.
Namun, ada satu bagian yang mencirikan bahwa pakaian pengantin itu adalah pakaian khas kalimantan tengah. Bagian itu adalah bulu burung Herwei yang dipasang pada bagian kepala pengantin. Bulu tersebut dipasang pada pengikat kepala yang berhiaskan manik-manik.
Seperti bulu-bulu yang digunakan para penari, bulu burung Herwei inilah yang paling menarik perhatian. Sepintas terpikir, bagaimana nasib burung yang bulunya dipakai untuk aksesoris? Apakah burung-burung itu dibunuh hanya untuk diambil bulunya?
Ternyata, jawabannya tidak sesadis yang dibayangkan. “Bulunya diambil dari burung yang sudah mati. Burung Herwei mati dikandang,” jawab Daya.
Sering kali orang luar Kalimantan menyebut burung Herwei adalah burung cendrawasih. Namun, Daya membantahnya, “burung Herwei bukan burung Cendrawasih. Hanya orang susah mengatakannya,” ujar guru Sekolah Dasar ini.
Selain para penari dan pengantin yang menggunakan bulu burung Herwei, ada juga seorang dayang. Dayang ini merupakan ikon Kalimantan Tengah dalam karnaval ini.
Sekitar pukul 09.30 peserta karnaval asal Kalimantan Tengah dipanggil oleh panitian untuk bersiap-siap. Mereka berjalan dari Pusdai hingga depan Gedung Sate bersama-sama seluruh peserta karnaval lainnya. Di sepanjang perjalanan karnaval ini, para penari menarikan tarian yang lebih sederhana dengan diiringi musik khas Kalimantan.
Para seniman ini merasa senang melihat apresiasi yang diberikan oleh masyarakat. Acara ini baru pertama kali mereka ikuti. Ada kebanggaan dan kebahagiaan yang mereka rasakan. Walaupun memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, mereka senang karena bisa berkumpul bersama-sama para seniman dari daerah lain.
“Dengan acara kebudayaan seperti ini, seluruh kebudayaan bisa bertemu dan saling mengenal,” ujar Daya.
Budaya adalah pemersatu bangsa. Daya dan kawan-kawan berpendapat bahwa acara seperti ini perlu lebih banyak mendapat perhatian dari pemerintah. “Pemerintah harus lebih memerhatikan acara seperti ini, agar bangsa kita sendiri tahu. Dengan begitu diharapkan adat istiadat jangan berubah dan luntur, serta terkontaminasi dengan peradaban asing,” ujar daya dengan semangat.

Andi Supardi : “Seni adalah Panggilan Jiwa”

Setiap minggu pagi, Andi pergi ke Perkampungan Betawi Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Bersama anaknya, ia mengendarai motor dari rumahnya di Cimanggis. Sesampainya di sana, puluhan anak-anak sudah menantinya di panggung, tempat mereka berlatih tari. Nia juga merupakan salah satu murid tarinya.
Andi adalah pelatih tari di Sanggar Betawi itu. Sosoknya yang bersahaja, membuat anak-anak tak sabar untuk berlatih tari dengannya. Suasana latihan berlangsung santai, namun tetap disiplin. “Saya mengutamakan kedisiplinan, disiplin waktu, disiplin gerakan, dan disiplin berpakaian, ”ujar Andi yang biasa disapa abang Andi.
Tak tampak rasa bosan pada wajah anak-anak yang sudah beberapa jam berlatih beberapa tarian. Andi, mengatakan ia selalu berusaha agar anak-anak tidak cepat bosan. Sambil sesekali mengeluarkan celotehan yang membuat anak-anak tertawa, Andi dengan sabar terus mengajari anak-anak menari.
Menjelang sore, seusai latihan Andi bercengkrama dengan murid-muridnya. Sosoknya yang humoris membuat anak-anak terus tertawa. “Bagi aku yang penting bisa menempatkan diri, kapan jadi teman kapan jadi guru,” jelasnya.
Sore itu Andi menceritakan berbagai kesenian Betawi, salah satunya lawak. Andi memberikan pelajaran mengenai lawak dengan santai. Anak-anak pun semangat dan terus tertawa.
Andi adalah sosok yang begitu sederhana. Kedekatannya dengan murid-muridnya membuat para mudir begitu menikmati pelajaran seni.
Di Sanggar Betawi Setu Babakan ini, Andi mengajar berbagai kesenian Betawi, mulai dari tarian ,lawak, lenong, bahkan hingga gambang kromong. Tarian yang diajarkannya pun beragam, seperti tari gegot, sirih kuning, lenggang nyai, topenggong, dan tari ngarojeng,
Andi yang sudah sejak 2002 mengajar di Sanggar ini mengutamakan unsur kedekatan dalam melatih anak didiknya. “Yang penting bagaimana membangun suasana senang agar anak-anak tetap senang untuk belajar seni,” jelas ayah dari tiga anak ini.
Dengan membangun kedekatan inilah ia mampu menjaga kepercayaan pada orang tua untuk menitipkan anaknya belajar kesenian betawi di sanggar ini. Andi, sebisa mungkin melakukan pendekatan dan memberi pengertian serta menjaga kepercayaan para orang tua. “Aku selalu memberi pengetian bahwa sanggar ini adalah milik bersama, bukan milik aku,” jelasnya.
Menurutnya, kesenian itu harus ditanamkan sejak dini agar tumbuh kecintaan. Namun, ia menyayangkan banyak orang yang kurang peduli pada seni. “orang sekarang mah mikirnya yang penting pinter,”ujarnya.
Namun, ia juga tidak bisa menyalahkan juga sekarang banyak orang yang kurang peduli pada seni dan budaya. Menurutnya semua itu sangat dipengaruhi lingkungan. Disinilah peran keluarga untuk memperkenalkan kebudayaan pada anak mereka sejak dini.
Selain itu, pendidiksn budaya juga harus terus ditingkatkan. “tiap sekolah seharusnya punya kurikulum budaya betawi,” jelasnya. Dibeberapa sekolah di Jakarta ada yang masih dan sudah menerapkan kurikulum kesenian. Namun, tenaga yang kurang membuat kesenian itu tidak tersampaikana secara maksimal. “guru kesenian masih banyak yang kurang menguasai kesenian budaya betawi itu senidi, tidak mengajarkan secara langsung bagaimana kesenian betawi itu,” jelas Andi
Namun, ia bersyukur masih banyak orang yang memiliki ketertarikan pada budaya betawi. Bahkan, menurutnya, banyak juga bukan orang Betawi yang tertarik pada kesenian Betawi ini. Namun, ia sendiri masih menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kebudaayaan ini.
“Pekerjaan dinas kebudayaan itu apa sih? Melestarikan, mengembangkan dan menjaga kebudayaan kan?,” jelasnya penuh semangat. Ia berpendapat apresiasi pemerintah terhadap kebudayaan kurang. Hal ini terlihat dari kurangnnya acara-acara kebudayaan yang diadakan.
Padahal, menurutnya, lewat acara atau festival kebudayaan inilah orang-orang bisa mengetahui kebudayaan betawi. “Gimana mau peduli dan cinta seni kalo apa aja seninya ngga tau,” ujar Andi.
Andi yang memang keturunan seniman Betawi ini memang sangat peduli dengan kesenian Betawi. Kakeknya adalah salah satu pendiri kelompok Topeng Betawi di Jakarta tahun 1918. Darah seni inilah yang membuatnya merasa terpanggil untuk terus mengembangkan kebudayaan dan kesenian Betawi. “Ya gimana, udah panggilan jiwa,” ujarnya tersenyum.
Lelaki yang masih satu kakek dengan mandra ini mengaku, seni sudah menjadi bagian dari hidupnya. ““Mau ngapain lagi, darah seni udah ngalir. Hidup ngga bisa lepas dari seni. Kebetulan aku suka, aku seneng, ya mau ngapain lagi, ” ujar lelaki kelahiran 1961 ini.
Ia belajar seni secara otididak dari panggung ke panggung. Sejak kecil ia sudah mencitai seni karena dorongan keluarga. Ketika berumur 7 tahun ia sudah ikut orang tuanya untuk tampil di festival budaya di Bandung. Saat itu, ia ikut ambil peran dalam cerita Sarkawi dan cerita topeng yang menceritakan kesedihan. “Mungkil awalnya dari situ saya semakin cinta seni. Saat itu kami dapat penghargaan yang cukup baik,” ujarnya
Hingga saat ini, bahkan menurutnya hingga kapanpun ia tak akan pernah lelah untuk terus melestarikan budaya betawi. Ia berpendapat, kebudayaan bangsa yang kini banyak diakui negara lain itu tak lain karena bangsa kita sendiri. Menurutnya, semua bisa dijaga, tergantung bagaimana kita bisa menjagannya.
Oleh sebab itu, Andi sangat berharap, pemerintan benar-benar memperhatikan masalah ini. Ia ingin, Gubernur Jakarta yang orang Betawi mampu menjadikan Budaya Betawi tuan rumah di rumahnya sendiri.
Ia sangat mengharapkan wujud perhatian pemerintah dalam memberikan subsidi pada sanggar akar berkembang. Menurutnya, pemerintah sangat lamban memberi bantuan. “Pernah minta subsidi buat sound system sanggar, eh dikasihnya beberapa bulan kemudian,” jelas Andi dengan nada kecewa.
Selain seni itu sendiri, pemerintah juga harus memperhatikan seniman-senimannya. Menurutnya, setidaknya ada tunjangan untuk para seniman. “Guru punya tunjangan tapi seniman kaga,” ujarnya.
Namun, lelaki yang masih terlihat muda ini tak pernah mengeluhkan masalah uang. Ia masih bersyukur, Sanggar Betawi tempatnya mengajar masih bisa berdiri dan berkembang walau hanya dari iuran anggotanya sebesar lima belas ribu rupiah perbulan. Uang itu digunakan untuk keperluan sanggar dan transport pelatih.
Andi yang juga memiliki kelompok lenong dan gambang kromong ini mengaku bersyukur atas penghasilannya. “Alhamdulilah, saya masih memperoleh penghasilan cukup dari panggilan manggung di berbagai tempat,” jelas Andi.
Baginya yang terutama adalah kepuasan batin, bukan sekedar uang. Ia sangat bahagia bisa menghibur orang dan berkarya. ”Kepuasan dan kebahagiaan itulah yang tidak bisa dibeli dengan uang,” tutur Andi sambil tersenyum.

Oleh Resi Fahma G
Narasumber :
Andi Supardi
Alamat : Jalan raya Gadok gang Kenanga RT 06/07 no 51 Cimanggis, Jakarta.