Bulu-bulu yang menghiasi pakaian adat itu menyedot pandangan mata pengunjung. Kali ini giliran Kalimantan tengah yang akan menunjukan salah satu tariannya.
Setelah pembawa acara Kemilau Nusantara 2008 membacakan susunan acara, tak lama kemudian para penari pun keluar dari belakang panggung. Para wanita dan pria yang mengenakan bulu-bulu di atas kepalanya ini tak langsung naik ke atas pentas. Mereka menyapa para pengunjung dengan berjalan ke depan panggung. Semua terpana. Semua pengunjung, terutama fotografer langsung mengerubungi para penari. Seperti lalat yang mengerubungi makanan.
Menarik, sungguh menarik perhatian. Pakaian merekalah yang menarik perhatian pengunjung. Penampilan nyentrik ini sangat menggoda para fotografer untuk mengabadikan keunikan kalimantan Tengah ini.
Di atas kepala perempuan terdapat tiga bulu panjang serta banyak bulu yang berderet dibagian rambut belakang dan punggung mereka. Sedangkan pada kepala laki-laki tepasang lebih dari sepuluh bulu panjang. Memberikan kesan megah dan “Wah” bagi yang mengenakannya.
Jika diperhatikan dengan lebih seksama, ada aksesoris lain yang sungguh menimbulkan rasa ingin tahu. Para penari wanita menggunakan kalung yang tersusun atas benda yang sepintas seperti tulang atau taring. Ternyata benda putih itu adalah taring babi hutan, taring beruang, dan taring buaya.
Berbeda dengan kalung wanita, kalung pada pria berukuran lebih besar. Penari pria juga mengenakan hiasan pinggul yang disebut penyang. “Itu semua tersusun dari taring babi, berung dan buaya, yang pastinya hewan yang ada di Kalimantan,” ujar Daya, pemimpin rombongan kesenian dari kalimantan.
Para penari perempuan dengan sangat ramah memberikan senyum dan posenya kepada para fotografer yang sesekali mengarahkan gaya mereka. Lain halnya dengan penari laki-laki. Tanpa senyum, dan gestur yang gagah, mereka berpose dengan sedikit membuka lebar matanya,serta bergaya menggunakan senjata yang mereka bawa.
Sambil mengibaskan mandau dan perisai yang disebut talawang, para penari pria bergaya seolah mereka akan berperang. Sesekali penari wanita menghempaskan selendangnya dan memamerkan bulu burung Herwei yang terpasang pada lengan kiri mereka.
Sekitar selama sepuluh menit mereka terus berpose. Matahari sudah semakin terik, maklum saat itu matahari tepat di atas kepala. Sambil tertawa dan kepanasan seorang penari perempuan berbicara dengan pelan, “Aduh, kita kan bukan model.”
Kemudian mereka langsung naik ke atas pentas. Sebelum memulai pertunjukannya, salah seorang pemain musik diajak berbincang oleh pembawa acara. Ternyata, kelompok kesenian dari sanggar Bentang Satugiang ini sudah melanglang buana ke manca negara. “Kami pernah tampil ke beberapa negara, seperti Malaysia, Brunai, Cina, dan australia,” ujarnya.
Setelah semua sudah siap, mereka langsung meranikan tarian Asang. Gerakan-gerakannya yang di tarikan oleh penari laki-laki sangat tegas, ditambah lagi dengan ekspresi wajah yang garang. Sesekali mereka berteriak dan menghentakan kaki. Tarian ini semakin terasa hidup dengan iringan musik dari alat musik khas Kalimantan Tengah.
Gendang besar yang terbuat dari kulit sapi membuat tariah semakin bertenaga. Gendang kerempet yang terbuat dari kulit kambing dan tangkung gendang dari besi membuat alunan musik semakin indah.
Para penari perempuan terlihat gemulai dan serasi dengan iringan melodi dari kecapi. Perpaduan antara alat musik dan tarian ini menyuguhkan pertunjukan seni yang membuat penonton terpukau. Tarian semakin menarik ketika salah satu penari laki-laki dikepung oleh para penari yang lain. Tameng yang dipegang tangan kirinya ditarik oleh beberapa tali yang dipegang oleh penari lain.
Konflik dalam tarian inilah yang membuat tarian semakin hidup. Penari yang dikepung itu seolah penjahat yang ingin dikeroyok. Ternyata tarian Asang ini memang tarian perang. Tarian yang bercerita tentang penjahat ini berasal dari legenda di Kalimantan Tengah.
Ketua rombongan kesenian ini menjelaskan bahwa penari yang ditarik dengan tali itu adalah penjahat. “Ia menyerbu dan ingin mengganggu satu kampung. Dalam legenda Asang ini, ada suatu kesepakatan, yaitu “bale”, yang berarti balas darah dengan darah, bayar beras dengan beras,” ujar Daya.
Setelah tarian selesai, penampilan berikutnya ialah sebuah lagu tentang persatuan indonesia dan kebudayaan Indonesia. Seorang penari pria menyanyikan lagu sambil sesekali melihat teks lagu yang ia pegang. Meskipun tidak hapal, lagu ciptaan salah seorang musisi ini dinyanyikan dengan logat khas kalimantan. Terdengar indah dengan alunan kecapi.
Semua penonton memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan. Inilah bukti loyalitas seniman dalam memperkenalkan kebudayaannya.
Meskipun lelah masih terasa, mereka telah menyajikan pertunjukan yang indah. Bayangkan, mereka baru tiba di Bandung pukul 02.00 pagi dan harus bersiap-siap sejak subuh. Wajar saja, untuk memperoleh penampilan yang maksimal mereka tentu harus mempersiapkannya dalam waktu yang relatif lama.
Penampilan mereka bukan hanya hari ini saja, keesokan harinya mereka juga akan mengikuti rangkaian acara Kemilau Nusantara berikutnya, yaitu karnaval budaya.
Hari minggu, sejak pukul 08.00 mereka sudah siap di Pusdai, Bandung. Ada yang berbeda dari penampilan mereka hari ini. Kelompok dari Kalimantan Tengah ini bertambah semakin ramai dengan sepasang pengantin yang menggunakan pakaian khas Kalimantan Tengah. Pakaian pengantin ini sekilas terlihat sederhana.
Namun, ada satu bagian yang mencirikan bahwa pakaian pengantin itu adalah pakaian khas kalimantan tengah. Bagian itu adalah bulu burung Herwei yang dipasang pada bagian kepala pengantin. Bulu tersebut dipasang pada pengikat kepala yang berhiaskan manik-manik.
Seperti bulu-bulu yang digunakan para penari, bulu burung Herwei inilah yang paling menarik perhatian. Sepintas terpikir, bagaimana nasib burung yang bulunya dipakai untuk aksesoris? Apakah burung-burung itu dibunuh hanya untuk diambil bulunya?
Ternyata, jawabannya tidak sesadis yang dibayangkan. “Bulunya diambil dari burung yang sudah mati. Burung Herwei mati dikandang,” jawab Daya.
Sering kali orang luar Kalimantan menyebut burung Herwei adalah burung cendrawasih. Namun, Daya membantahnya, “burung Herwei bukan burung Cendrawasih. Hanya orang susah mengatakannya,” ujar guru Sekolah Dasar ini.
Selain para penari dan pengantin yang menggunakan bulu burung Herwei, ada juga seorang dayang. Dayang ini merupakan ikon Kalimantan Tengah dalam karnaval ini.
Sekitar pukul 09.30 peserta karnaval asal Kalimantan Tengah dipanggil oleh panitian untuk bersiap-siap. Mereka berjalan dari Pusdai hingga depan Gedung Sate bersama-sama seluruh peserta karnaval lainnya. Di sepanjang perjalanan karnaval ini, para penari menarikan tarian yang lebih sederhana dengan diiringi musik khas Kalimantan.
Para seniman ini merasa senang melihat apresiasi yang diberikan oleh masyarakat. Acara ini baru pertama kali mereka ikuti. Ada kebanggaan dan kebahagiaan yang mereka rasakan. Walaupun memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, mereka senang karena bisa berkumpul bersama-sama para seniman dari daerah lain.
“Dengan acara kebudayaan seperti ini, seluruh kebudayaan bisa bertemu dan saling mengenal,” ujar Daya.
Budaya adalah pemersatu bangsa. Daya dan kawan-kawan berpendapat bahwa acara seperti ini perlu lebih banyak mendapat perhatian dari pemerintah. “Pemerintah harus lebih memerhatikan acara seperti ini, agar bangsa kita sendiri tahu. Dengan begitu diharapkan adat istiadat jangan berubah dan luntur, serta terkontaminasi dengan peradaban asing,” ujar daya dengan semangat.
Setelah pembawa acara Kemilau Nusantara 2008 membacakan susunan acara, tak lama kemudian para penari pun keluar dari belakang panggung. Para wanita dan pria yang mengenakan bulu-bulu di atas kepalanya ini tak langsung naik ke atas pentas. Mereka menyapa para pengunjung dengan berjalan ke depan panggung. Semua terpana. Semua pengunjung, terutama fotografer langsung mengerubungi para penari. Seperti lalat yang mengerubungi makanan.
Menarik, sungguh menarik perhatian. Pakaian merekalah yang menarik perhatian pengunjung. Penampilan nyentrik ini sangat menggoda para fotografer untuk mengabadikan keunikan kalimantan Tengah ini.
Di atas kepala perempuan terdapat tiga bulu panjang serta banyak bulu yang berderet dibagian rambut belakang dan punggung mereka. Sedangkan pada kepala laki-laki tepasang lebih dari sepuluh bulu panjang. Memberikan kesan megah dan “Wah” bagi yang mengenakannya.
Jika diperhatikan dengan lebih seksama, ada aksesoris lain yang sungguh menimbulkan rasa ingin tahu. Para penari wanita menggunakan kalung yang tersusun atas benda yang sepintas seperti tulang atau taring. Ternyata benda putih itu adalah taring babi hutan, taring beruang, dan taring buaya.
Berbeda dengan kalung wanita, kalung pada pria berukuran lebih besar. Penari pria juga mengenakan hiasan pinggul yang disebut penyang. “Itu semua tersusun dari taring babi, berung dan buaya, yang pastinya hewan yang ada di Kalimantan,” ujar Daya, pemimpin rombongan kesenian dari kalimantan.
Para penari perempuan dengan sangat ramah memberikan senyum dan posenya kepada para fotografer yang sesekali mengarahkan gaya mereka. Lain halnya dengan penari laki-laki. Tanpa senyum, dan gestur yang gagah, mereka berpose dengan sedikit membuka lebar matanya,serta bergaya menggunakan senjata yang mereka bawa.
Sambil mengibaskan mandau dan perisai yang disebut talawang, para penari pria bergaya seolah mereka akan berperang. Sesekali penari wanita menghempaskan selendangnya dan memamerkan bulu burung Herwei yang terpasang pada lengan kiri mereka.
Sekitar selama sepuluh menit mereka terus berpose. Matahari sudah semakin terik, maklum saat itu matahari tepat di atas kepala. Sambil tertawa dan kepanasan seorang penari perempuan berbicara dengan pelan, “Aduh, kita kan bukan model.”
Kemudian mereka langsung naik ke atas pentas. Sebelum memulai pertunjukannya, salah seorang pemain musik diajak berbincang oleh pembawa acara. Ternyata, kelompok kesenian dari sanggar Bentang Satugiang ini sudah melanglang buana ke manca negara. “Kami pernah tampil ke beberapa negara, seperti Malaysia, Brunai, Cina, dan australia,” ujarnya.
Setelah semua sudah siap, mereka langsung meranikan tarian Asang. Gerakan-gerakannya yang di tarikan oleh penari laki-laki sangat tegas, ditambah lagi dengan ekspresi wajah yang garang. Sesekali mereka berteriak dan menghentakan kaki. Tarian ini semakin terasa hidup dengan iringan musik dari alat musik khas Kalimantan Tengah.
Gendang besar yang terbuat dari kulit sapi membuat tariah semakin bertenaga. Gendang kerempet yang terbuat dari kulit kambing dan tangkung gendang dari besi membuat alunan musik semakin indah.
Para penari perempuan terlihat gemulai dan serasi dengan iringan melodi dari kecapi. Perpaduan antara alat musik dan tarian ini menyuguhkan pertunjukan seni yang membuat penonton terpukau. Tarian semakin menarik ketika salah satu penari laki-laki dikepung oleh para penari yang lain. Tameng yang dipegang tangan kirinya ditarik oleh beberapa tali yang dipegang oleh penari lain.
Konflik dalam tarian inilah yang membuat tarian semakin hidup. Penari yang dikepung itu seolah penjahat yang ingin dikeroyok. Ternyata tarian Asang ini memang tarian perang. Tarian yang bercerita tentang penjahat ini berasal dari legenda di Kalimantan Tengah.
Ketua rombongan kesenian ini menjelaskan bahwa penari yang ditarik dengan tali itu adalah penjahat. “Ia menyerbu dan ingin mengganggu satu kampung. Dalam legenda Asang ini, ada suatu kesepakatan, yaitu “bale”, yang berarti balas darah dengan darah, bayar beras dengan beras,” ujar Daya.
Setelah tarian selesai, penampilan berikutnya ialah sebuah lagu tentang persatuan indonesia dan kebudayaan Indonesia. Seorang penari pria menyanyikan lagu sambil sesekali melihat teks lagu yang ia pegang. Meskipun tidak hapal, lagu ciptaan salah seorang musisi ini dinyanyikan dengan logat khas kalimantan. Terdengar indah dengan alunan kecapi.
Semua penonton memberikan apresiasi dengan bertepuk tangan. Inilah bukti loyalitas seniman dalam memperkenalkan kebudayaannya.
Meskipun lelah masih terasa, mereka telah menyajikan pertunjukan yang indah. Bayangkan, mereka baru tiba di Bandung pukul 02.00 pagi dan harus bersiap-siap sejak subuh. Wajar saja, untuk memperoleh penampilan yang maksimal mereka tentu harus mempersiapkannya dalam waktu yang relatif lama.
Penampilan mereka bukan hanya hari ini saja, keesokan harinya mereka juga akan mengikuti rangkaian acara Kemilau Nusantara berikutnya, yaitu karnaval budaya.
Hari minggu, sejak pukul 08.00 mereka sudah siap di Pusdai, Bandung. Ada yang berbeda dari penampilan mereka hari ini. Kelompok dari Kalimantan Tengah ini bertambah semakin ramai dengan sepasang pengantin yang menggunakan pakaian khas Kalimantan Tengah. Pakaian pengantin ini sekilas terlihat sederhana.
Namun, ada satu bagian yang mencirikan bahwa pakaian pengantin itu adalah pakaian khas kalimantan tengah. Bagian itu adalah bulu burung Herwei yang dipasang pada bagian kepala pengantin. Bulu tersebut dipasang pada pengikat kepala yang berhiaskan manik-manik.
Seperti bulu-bulu yang digunakan para penari, bulu burung Herwei inilah yang paling menarik perhatian. Sepintas terpikir, bagaimana nasib burung yang bulunya dipakai untuk aksesoris? Apakah burung-burung itu dibunuh hanya untuk diambil bulunya?
Ternyata, jawabannya tidak sesadis yang dibayangkan. “Bulunya diambil dari burung yang sudah mati. Burung Herwei mati dikandang,” jawab Daya.
Sering kali orang luar Kalimantan menyebut burung Herwei adalah burung cendrawasih. Namun, Daya membantahnya, “burung Herwei bukan burung Cendrawasih. Hanya orang susah mengatakannya,” ujar guru Sekolah Dasar ini.
Selain para penari dan pengantin yang menggunakan bulu burung Herwei, ada juga seorang dayang. Dayang ini merupakan ikon Kalimantan Tengah dalam karnaval ini.
Sekitar pukul 09.30 peserta karnaval asal Kalimantan Tengah dipanggil oleh panitian untuk bersiap-siap. Mereka berjalan dari Pusdai hingga depan Gedung Sate bersama-sama seluruh peserta karnaval lainnya. Di sepanjang perjalanan karnaval ini, para penari menarikan tarian yang lebih sederhana dengan diiringi musik khas Kalimantan.
Para seniman ini merasa senang melihat apresiasi yang diberikan oleh masyarakat. Acara ini baru pertama kali mereka ikuti. Ada kebanggaan dan kebahagiaan yang mereka rasakan. Walaupun memiliki kebudayaan yang berbeda-beda, mereka senang karena bisa berkumpul bersama-sama para seniman dari daerah lain.
“Dengan acara kebudayaan seperti ini, seluruh kebudayaan bisa bertemu dan saling mengenal,” ujar Daya.
Budaya adalah pemersatu bangsa. Daya dan kawan-kawan berpendapat bahwa acara seperti ini perlu lebih banyak mendapat perhatian dari pemerintah. “Pemerintah harus lebih memerhatikan acara seperti ini, agar bangsa kita sendiri tahu. Dengan begitu diharapkan adat istiadat jangan berubah dan luntur, serta terkontaminasi dengan peradaban asing,” ujar daya dengan semangat.