Monday, February 16, 2009

Andi Supardi : “Seni adalah Panggilan Jiwa”

Setiap minggu pagi, Andi pergi ke Perkampungan Betawi Setu Babakan di Srengseng Sawah, Jakarta Selatan. Bersama anaknya, ia mengendarai motor dari rumahnya di Cimanggis. Sesampainya di sana, puluhan anak-anak sudah menantinya di panggung, tempat mereka berlatih tari. Nia juga merupakan salah satu murid tarinya.
Andi adalah pelatih tari di Sanggar Betawi itu. Sosoknya yang bersahaja, membuat anak-anak tak sabar untuk berlatih tari dengannya. Suasana latihan berlangsung santai, namun tetap disiplin. “Saya mengutamakan kedisiplinan, disiplin waktu, disiplin gerakan, dan disiplin berpakaian, ”ujar Andi yang biasa disapa abang Andi.
Tak tampak rasa bosan pada wajah anak-anak yang sudah beberapa jam berlatih beberapa tarian. Andi, mengatakan ia selalu berusaha agar anak-anak tidak cepat bosan. Sambil sesekali mengeluarkan celotehan yang membuat anak-anak tertawa, Andi dengan sabar terus mengajari anak-anak menari.
Menjelang sore, seusai latihan Andi bercengkrama dengan murid-muridnya. Sosoknya yang humoris membuat anak-anak terus tertawa. “Bagi aku yang penting bisa menempatkan diri, kapan jadi teman kapan jadi guru,” jelasnya.
Sore itu Andi menceritakan berbagai kesenian Betawi, salah satunya lawak. Andi memberikan pelajaran mengenai lawak dengan santai. Anak-anak pun semangat dan terus tertawa.
Andi adalah sosok yang begitu sederhana. Kedekatannya dengan murid-muridnya membuat para mudir begitu menikmati pelajaran seni.
Di Sanggar Betawi Setu Babakan ini, Andi mengajar berbagai kesenian Betawi, mulai dari tarian ,lawak, lenong, bahkan hingga gambang kromong. Tarian yang diajarkannya pun beragam, seperti tari gegot, sirih kuning, lenggang nyai, topenggong, dan tari ngarojeng,
Andi yang sudah sejak 2002 mengajar di Sanggar ini mengutamakan unsur kedekatan dalam melatih anak didiknya. “Yang penting bagaimana membangun suasana senang agar anak-anak tetap senang untuk belajar seni,” jelas ayah dari tiga anak ini.
Dengan membangun kedekatan inilah ia mampu menjaga kepercayaan pada orang tua untuk menitipkan anaknya belajar kesenian betawi di sanggar ini. Andi, sebisa mungkin melakukan pendekatan dan memberi pengertian serta menjaga kepercayaan para orang tua. “Aku selalu memberi pengetian bahwa sanggar ini adalah milik bersama, bukan milik aku,” jelasnya.
Menurutnya, kesenian itu harus ditanamkan sejak dini agar tumbuh kecintaan. Namun, ia menyayangkan banyak orang yang kurang peduli pada seni. “orang sekarang mah mikirnya yang penting pinter,”ujarnya.
Namun, ia juga tidak bisa menyalahkan juga sekarang banyak orang yang kurang peduli pada seni dan budaya. Menurutnya semua itu sangat dipengaruhi lingkungan. Disinilah peran keluarga untuk memperkenalkan kebudayaan pada anak mereka sejak dini.
Selain itu, pendidiksn budaya juga harus terus ditingkatkan. “tiap sekolah seharusnya punya kurikulum budaya betawi,” jelasnya. Dibeberapa sekolah di Jakarta ada yang masih dan sudah menerapkan kurikulum kesenian. Namun, tenaga yang kurang membuat kesenian itu tidak tersampaikana secara maksimal. “guru kesenian masih banyak yang kurang menguasai kesenian budaya betawi itu senidi, tidak mengajarkan secara langsung bagaimana kesenian betawi itu,” jelas Andi
Namun, ia bersyukur masih banyak orang yang memiliki ketertarikan pada budaya betawi. Bahkan, menurutnya, banyak juga bukan orang Betawi yang tertarik pada kesenian Betawi ini. Namun, ia sendiri masih menyayangkan kurangnya perhatian pemerintah terhadap kebudaayaan ini.
“Pekerjaan dinas kebudayaan itu apa sih? Melestarikan, mengembangkan dan menjaga kebudayaan kan?,” jelasnya penuh semangat. Ia berpendapat apresiasi pemerintah terhadap kebudayaan kurang. Hal ini terlihat dari kurangnnya acara-acara kebudayaan yang diadakan.
Padahal, menurutnya, lewat acara atau festival kebudayaan inilah orang-orang bisa mengetahui kebudayaan betawi. “Gimana mau peduli dan cinta seni kalo apa aja seninya ngga tau,” ujar Andi.
Andi yang memang keturunan seniman Betawi ini memang sangat peduli dengan kesenian Betawi. Kakeknya adalah salah satu pendiri kelompok Topeng Betawi di Jakarta tahun 1918. Darah seni inilah yang membuatnya merasa terpanggil untuk terus mengembangkan kebudayaan dan kesenian Betawi. “Ya gimana, udah panggilan jiwa,” ujarnya tersenyum.
Lelaki yang masih satu kakek dengan mandra ini mengaku, seni sudah menjadi bagian dari hidupnya. ““Mau ngapain lagi, darah seni udah ngalir. Hidup ngga bisa lepas dari seni. Kebetulan aku suka, aku seneng, ya mau ngapain lagi, ” ujar lelaki kelahiran 1961 ini.
Ia belajar seni secara otididak dari panggung ke panggung. Sejak kecil ia sudah mencitai seni karena dorongan keluarga. Ketika berumur 7 tahun ia sudah ikut orang tuanya untuk tampil di festival budaya di Bandung. Saat itu, ia ikut ambil peran dalam cerita Sarkawi dan cerita topeng yang menceritakan kesedihan. “Mungkil awalnya dari situ saya semakin cinta seni. Saat itu kami dapat penghargaan yang cukup baik,” ujarnya
Hingga saat ini, bahkan menurutnya hingga kapanpun ia tak akan pernah lelah untuk terus melestarikan budaya betawi. Ia berpendapat, kebudayaan bangsa yang kini banyak diakui negara lain itu tak lain karena bangsa kita sendiri. Menurutnya, semua bisa dijaga, tergantung bagaimana kita bisa menjagannya.
Oleh sebab itu, Andi sangat berharap, pemerintan benar-benar memperhatikan masalah ini. Ia ingin, Gubernur Jakarta yang orang Betawi mampu menjadikan Budaya Betawi tuan rumah di rumahnya sendiri.
Ia sangat mengharapkan wujud perhatian pemerintah dalam memberikan subsidi pada sanggar akar berkembang. Menurutnya, pemerintah sangat lamban memberi bantuan. “Pernah minta subsidi buat sound system sanggar, eh dikasihnya beberapa bulan kemudian,” jelas Andi dengan nada kecewa.
Selain seni itu sendiri, pemerintah juga harus memperhatikan seniman-senimannya. Menurutnya, setidaknya ada tunjangan untuk para seniman. “Guru punya tunjangan tapi seniman kaga,” ujarnya.
Namun, lelaki yang masih terlihat muda ini tak pernah mengeluhkan masalah uang. Ia masih bersyukur, Sanggar Betawi tempatnya mengajar masih bisa berdiri dan berkembang walau hanya dari iuran anggotanya sebesar lima belas ribu rupiah perbulan. Uang itu digunakan untuk keperluan sanggar dan transport pelatih.
Andi yang juga memiliki kelompok lenong dan gambang kromong ini mengaku bersyukur atas penghasilannya. “Alhamdulilah, saya masih memperoleh penghasilan cukup dari panggilan manggung di berbagai tempat,” jelas Andi.
Baginya yang terutama adalah kepuasan batin, bukan sekedar uang. Ia sangat bahagia bisa menghibur orang dan berkarya. ”Kepuasan dan kebahagiaan itulah yang tidak bisa dibeli dengan uang,” tutur Andi sambil tersenyum.

Oleh Resi Fahma G
Narasumber :
Andi Supardi
Alamat : Jalan raya Gadok gang Kenanga RT 06/07 no 51 Cimanggis, Jakarta.

No comments:

Post a Comment