Tuesday, January 20, 2009

Becak Makin Tersingkir

Beberapa tukang becak terlihat santai duduk di becak sambil menunggu penumpang. Hilir mudik kendaraan di Jalan Surapati Bandung berbanding terbalik dengan jarangnya para tukang becak ini memperoleh penumpang. Di depan Pasar Cihaurgeulis inilah mereka menggantungkan hidupnya dari mengayuh becak.

Tepat di depan pintu masuk pasar, seorang bapak berumur 53 tahun yang biasa disapa Casam terlihat duduk sambil memperhatikan para pengunjung pasar. Setiap hari, ayah dari satu orang anak ini berburu penumpang untuk mendapatkan rupiah demi memenuhi kebutuhan keluargannya.

Senin itu, hingga pukul 15.00 ia belum juga mendapatkan penumpang. Agar memeroleh penumpang, ia harus rajin mencari penumpang. Berbeda dengan komplek perumahan yang sistemnya urutan, sistem dalam memperoleh penumpang becak yang digunakan di pasar ialah berdasarkan siapa yang cepat melihat penumpang yang ingin naik becak. “Kalah mata kalah uang,” ujar Casam.

Namun, bukan berarti ia malas mencari penumpang. Hari itu pasar memang sepi sekali. Ia mengeluhkan semakin hari penumpang becak semakin sepi. Sudah satu setengah tahun ini ia mengayuh becak di pasar Cihaurgeulis. Sebelumnya juga bekerja sebagai tukang becak di Pasar Sederhana, Sukajadi Bandung.

Tetesan keringatnya mengayuh becak setiap hari rata-rata menghasilkan 35 ribu rupiah. Namun, itu belum termasuk untuk makan. Dalam sehari ia makan dua kali. Untuk satu kali makan, ia harus mengeluarkan uang lima ribu rupiah. “Uang segitu belum buat makan, ngerokok sama ngopi,” jelas laki-laki asal Cilacap ini.

Jika ia beruntung, ia bisa menabung 20 ribu rupiah satu hari. Namun, ia mengeluhkan semakin hari pendapatannya semakin berkurang. Uang hasil kerja kerasnya mengayuh “si roda tiga” juga harus di bagi-bagi lagi untuk membayar sewa kontrakan dan membiayai anaknya sekolah.

Casam tinggal sendiri di rumah kontrakan berukuran 1,5 x 2 meter. Setiap bulannya ia harus mengeluarkan uang 90 ribu rupiah untuk tempatnya tidur. Di Kamar yang relatif kecil itulah ia tidur dan melepaskan lelah. Tanpa istri disampingnya, ia harus mengerjakan segala sesuatunya sendiri termasuk mencuci baju.

Ketika azan subuh mulai berkumandang, ia harus bangun dan bersiap bekerja dengan kendaraan andalannya. Sejak pukul 05.00 hingga 17.00 ia banting tulang dengan peluh keringat mengayuh becak. Tanpa kenal lelah, ia terus bekerja demi anak dan istrinya. Di Cilacap istrinya bekerja sebagai pembantu. “Istri saya jadi pembantu. Gajinya kecil cuma 350 ribu,” ujarnya.

Casam lebih memilih bekerja di kota karena menurutnya gaji di desa jauh lebih kecil. Meskipun haris mencari nafkah jauh dari keluarga, ia rela demi keluarga. “Di desa mah gajinya kecil. Di sini juga kecil sih, tapi ngga separah di desa,” ujarnya.

Sebelumnya ia pernah bekerja sebagai penjaga pondokan. Menurutnya, penghasilannya itu kurang dan tidak sesuai dengan pengeluaran. “Dulu saya pernah kerja jaga kosan di Yogja. Digaji Cuma 350 ribu, “ujarnya.

Setelah pindah ke Bandung, ia mengaku penghasilannya membaik. Selama sepuluh tahun ia bekerja di Pasar Sederhana ia merasa uang yang diperoleh cukup untuk menghidupi keluarga dan membiayai anaknya sekolah. Namun, seiring waktu, ia mengeluhkan berkurangnya pendapatan tukang becak. “Setelah zaman Soeharto, narik becak semakin sepi,” ujarnya.

Menurutnya, semakin banyaknya kendaraan pribadi membuat keberadaan becak sebagai angkutan umum jadi tersingkir. “Sekarang ibu-ibu yang belanja sudah pada bawa motor. Ada juga yang tinggal telpon pake Hp terus dijemput,” ujarnya.

Namun, ditengah perasaan kekurangan ekonomi itu, Casam masih bersyukur dengan keadaan keluargannya khususnya anaknya. Anak satu-satunya kini kuliah di IKIP Karang Malang. “Anak saya pagi kerja di Yayasan, siang baru kuliah. Ya, alhamdulilah ada tambahan, kalau ngga gitu ya mana mungkin bisa kuliah,” ujarnya.

Kondisi Casam tidak jauh berbeda dengan Okid yang tersingkir oleh keberadaan motor yang semakin banyak. Namun, laki-laki kelahiran tahun 1947 ini kini sudah berhenti mengayuh becak. Sudah dua bulan ia memutuskan untuk tidak mencari nafkah dari kendaraan tradisional itu.

“Kadang dari pagi sampai siang masih duduk-duduk aja di becak. Ngga ada penumpang,” ujarnya. Okid mengungkapkan, kini dirinya tidak mampu lagi bersaing dengan tukang ojeg. Orang lebih memilih ojek motor karena lebih cepat. Keadaan inilah yang membuatnya terpaksa berhenti menjadi tukang becak. Dari pada harus membayar uang sewa sebesar empat ribu rupiah tanpa mendapatkan penghasilan, ia memutuskan lebih baik berhenti.

Keadaan ekonomi keluarganya semakin tidak stabil karena istrinya Rohayati kini juga jarang sekali berjualan karena sakit. Biasanya rohayati juga membantu mencari nafkah untuk keluarga. Sehari-hari Rohayati berjualan surabi dan gorengan di dekat rumahnya. “Yah, jualan juga sepi. Kadang bikin lontong satu liter juga ngga habis. Sekarang mah semua serba susah,” ujar Rahayati dengan nada lemas.

Kini Okid hanya mengandalkan panggilan untuk mengebor sumur dan sesekali menjadi kuli bangunan, itu pun kalau ada yang membutuhkan. Untuk makan sehari-hari keluarga Okid dibantu oleh anak tertua mereka yang bekerja di toko baju dengan gaji 600 ribu rupiah.

Dalam sehari mereka harus mengeluarkan uang 25 ribu rupiah untuk memenuhi kebutuhan makan. Uang tersebut habis untuk memberli beras satu liter dan lauk pauk. “paling makan cuma pake nasi tempe tahu,’ ujar Rohayati.

Okid dan Rohayati memiliki tiga orang anak. Di rumah berukuran tak lebih dari 3 x 3 meter mereka tinggal bersana. Rumah itu di tambah lantainya, jadi dua lantai. Di lantai bawah untuk Okid dan lantai atas untuk ketiga anak mereka.

Di depan rumah terdapat kamar mandi yang sangat kecil, hanya berukuran kurang dari 1x1 meter. Mereka menggunakan pompa untuk mendapatkan air. Di samping kamar mandi terlihat tumpukan kayu bakar untuk memasak. “Sekarang minyak mahal, Rp.7000 se-liter,” ujar rohayati.

Selain sesak dengan kamar mandi, pompa air, dan tumpukan kayu bakar, depan rumah Okid juga terdapat kandang burung yang berisi sekitar enam burung. Sisa luas jalan di depan rumah mereka hanya kurang dari satu meter, itu pun dikurangi lagi dengan bangku-bangku.

Suara bising kereta yang lewat tepat di depan rumah mereka sudah menjadi bagian dari keseharian mereka. Tanpa listrik yang menerangi, mulai pukul 05.30 sore rumah mereka sudah gelap. Malam-malam mereka hanya diterangi oleh lampu petromak atau pun lilin.

“Kalau anak ingin nonton TV ya numpang di tetangga. Kalau belajar juga cuma pakai lilin,” ujar Okid dengan suara pelan. Okid dan Rohayati mengeluhkan keadaan hidup yang semakin susah. Namun, semangat masih terlihat dari senyum mereka. “Ada sih tetangga yang nyuruh nyolok listrik, tapi saya mah ngga mau, ngga enak,” ujar Rohayati yang terlihat lemas karena sakit.

Sebenarnya mereka ingin pasang listrik, namun takut tidak mampu membayar. “Dari pada jadi omongan tetangga karena ngga bisa bayar, lebih baik ngga usah masang,” ujar Rohayati.

Harus Ada Aturan dan Kebijakan

Seiring bertambah banyaknya sepeda motor, nasib tukang bacak pun semakin terancam. Seperti yang dialami Casam dan Okid, pendapatan mereka kian berkurang karena kalah bersaing dengan motor. Menurut Sosiolog Unpad Budi Rajab, fenomena ini adalah kondisi yang biasa terjadi. “Bisa saja hal-hal yang tradisonal seperti becak itu berkurang dan digantikan oleh yang baru,” ujarnya.

Motor sebagai salah satu teknologi transportasi yang kini menjadi pilihan banyak orang turut memberikan dampat negatif bagi para tukang becak. Budi mengatakan berkembangnya teknologi transportasi ini sesunggunya hal yang biasa. “Teknologi itu sendiri sendiri kan netral tergantung untuk siapa dan digunakan untuk apa. Misalnya motor tidak digunakan unutk mengangkut orang, tentu tukang becak tidak akan tersaingi. Jadi penggunaannya yang jadi masalah, bukan teknologinya,” ujarnya.

Apa yang dialami oleh Casam dan Okid serta sejumlah tukang becak lainnya merupakan hal yang wajar. Menurut Budi, penggantiang becak ke motor tidak masalah karena wajar saja jika yang lama-lama digantikan dengan yang baru. Yang menjadi permasalahan disini ialah aturan motor sebagai angkutan umum dan nasib tukang becak.

“Karena pemerintah tidak punya aturan tentang penggunaan teknologi transportasi. Motor digunakan untuk mengangkut penumpang dan dikenakan ongkos. Pada kondisi inilah teknologi menjadi tidak netral karena tidak ada aturan penggunaannya,” ujar Budi.

Ia sendiri tidak setuju motor sebagai angkutan umum karena bisa menyebabkan kerugian bukan saja bagi tukang becak tetapi juga angkutan lain seperti angkot (angkutan kota). Menurutnya, pemerintah bukan saja harus membuat aturan mengenai motor sebagai angkutan umum, tetapi juga pembatasan kepemilikan motor.

“Karena kebijakan pemerintah mendorong orang penggunaan motor, bukan membatasi. Sekarang pengunaan motor begitu bebasnya tanpa ada aturan. Sesungguhnya secara ekonomi hal ini sangat merugikan,” ujarnya.

Selain tidak setuju dengan ojek, ia juga tidak setuju dengan becak sebagai alat angkut. “Untuk ukuran tertentu becak itu tidak manusiawi untuk mengakut penumpang. Persoalannya bukan penghasilannya melainkan tenaga yang digunakan untuk mengayuh becak, ujarnya.

Menurutnya, untuk mengayuh becak dibutuhkan tenaga yang kuat. Untuk memperoleh tenaga yang kuat dibutuhkan makanan yang bergizi. Ia menyangsikan dengan penghasilan tukang becak yang sedikit untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut. Mengayuh becak kah berat sekali, jangan dipikir enteng,” ujarnya.

Dilihat dari unsur kemanusiaannya, Budi setuju jika becak dihapuskan. Namun, yang menjadi permasalahan kemudian adalah nasib tukang becak. “Pemerintah seharusnya memberikan peluang kerja bagi tukang becak,” ujarnya.

Lebih jauh ia mengatakan, pemerintah seharusnya memikirkan nasib rakyat kecil, seperti tukang becak ini dengan memberikan kebijakan serta aturan yang tepat. “Pemerintah jangan hanya ingin enaknya saja,” jelasnya.

Program yang paling efektif untuk menanggulangi kemiskinan ialah dengan memberikan peluang kerja dan pelatihan untuk orang miskin. Pemerintah juga harus memperhatikan program jangka panjang untuk mengentaskan kemiskinan, yaitu dengan meningkatkan pendidikan.

“Tugas pemerintah ialah mencari program untuk melayani masyrakat dan menanggulangi kemiskinan,” tegasnya.

1 comment: